Selasa, 20 Desember 2011

praktikum fotoperiode pada puyuh jantan


 

PENGARUH WARNA CAHAYA TERHADAP DIAMETER DAN BERAT TESTIS SERTA KUALITAS SPERMA BURUNG PUYUH (Cortunix cortunix japonica)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah fisiologi hewan

Dosen pengampu : Dra. Aditya Marianti, M.Si
Drh. Wulan Christijanti, M.Si




Oleh :
1.      Aminatul Khusna                    4411409003
2.      Denny Herbianto                    4411409010
3.      Titi Fatmawati                         4411409013
4.      Desi Puspitasari                       4411409027





JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
A.    Judul
PENGARUH WARNA CAHAYA TERHADAP DIAMETER DAN BERAT TESTIS SERTA KUALITAS SPERMA BURUNG PUYUH (Cortunix cortunix japonica)

B.     Latar Belakang
Cahaya merupakan suatu bagian dari fenomena alam yang kompleks yang disebut sebagai radiasi elektromagnetik. Kompleksitas fenomena alam tersebut meliputi warna cahaya, persepsi mengenai warna cahaya, adaptasipenglihatan, dan sensasi penglihatan akan diterima sebagai suatu informasi yang dating dari lingkungan serta memiliki peran penting bagi semua organism.
Masing-masing warna cahaya mampu menghasilkan efek tingkah laku pertumbuhan dan reproduksi yang berbeda dalam kehidupan hewan.
Perlakuan pemberian cahaya pada kelompok unggas mampu memberikan respon yang berbeda. Misalnya pemberian cahaya biru menyebabkan unggasmenjadi lebih tenang, pemberian cahaya merah dapat mengurangi kanibalisme antar individu, memacu pertumbuhan bulu sayap dan memacu masak kelamin, serta pemberian cahaya hijau akan menstimulasi pada periode pertumbuhan anak (Geweher et. al. 2005).
Efek utama yang muncul dari pencahayaan adalah secara langsung terlibat dalam masak kelamin. Misalnya pada unggas jantan maturasi seksual merupakan tahap dimana testis telah tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan spermatozoa yang matang (Rodenboorg et. al. 2001)
Warna cahaya, intensitas cahaya, dan durasi pencahayaan khususnya pada unggas sangat berperan dalam fungsi fisiologi terutama proses metabolisme, homeostasis, dan reproduksi. Untuk mengetahui kebenaran dari teori tersebut maka penulis melakukan kegiatan penelitian terhadap struktur testis dan kualitas sperma burung puyuh dengan perlakuan warna cahaya yang berbeda.
Pemilihan burung puyuh dalam penelitian ini dikarenakan burung puyuh merupakan salah satu unggas yang sangat responsif  terhadap penerimaan energi cahaya, tingkah laku, dan masak kelamin, dapat dimanipulasi denagn pemberian warna cahaya spesifik untuk cahaya merah, hijau, biru dan bening sebagai kontrol.


C.    Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh warna cahaya terhadap diameter dan berat testis serta kualitas sperma burung puyuh (Cortunix cortunix japonica)?

D.    Tujuan
Mengetahui pengaruh warna cahaya terhadap diameter dan berat testis serta kualitas sperma burung puyuh (Cortunix cortunix japonica).

E.     Manfaat
Memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya pada peternak burung puyuh terkait dengan pengaruh warna cahaya terhadap diameter dan berat testis serta kualitas sperma yang nantinya akan memberikan pengaruh bagi produksi telur burung puyuh betina.




















F.     Tinjauan Pustaka
1.      Burung puyuh
Puyuh merupakan jenis aves yang tidak dapat terbang,ukuran tubuhnya relative kecil,berkaki pendek dan tersebar diseluruh dunia,sedangkan cara hidup yang liar menimbulkan kesan bahwa puyuh sulit dipelihara. Di Amerika serikat puyuh diternakkan pertama kali pada tahun 1870 berasal dari puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica). Di Negara jepang sendiri puyuh pertama kali dipelihara  sebagai burung ocehan (song bird) dan burung aduan. Seiring dengan tingkat kebutuhan manuisa akan protein hewani,puyuh  kemudian mulai didomestikasi. Domestikasi puyuh dilakukan pertama kali oleh National Institute of Genetic,Mishima,sedangkan puyuh jepang di Indonesia baru mulai dikenal dan dipelihara pada akhir tahun 1979. Sebenarnya Indonesia memiliki beberapa jenis puyuh,tetapi tidak semua dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan,terutama telur. Puyuh liar di Indonesia sering disebut gemak,termasuk dalam genus turnix yang jauh berbeda dari cortunix,perbedaan jelas pada kakinya. Coturnix coturnix japonica memiliki 4 jari,3 menghadap kedepan dan 1 kebelakang,sedangkan turnix hanya memiliki 3 jari yang menghafdap kedepan. Masyarakat yang menghendaki produksi telur lebih banyak memilih puyuh jepang untuk dipelihara dan diambil telurnya. Puyuh juga menjadi semakin popular  dan digemari oleh banyak kalangan karena telur dan dagingnya sebagai bahan makanan yang kandungan gizinya tinggi dan rasanya lezat,beberapa tahun terakhir puyuh banyak digunakan sebagai hewan percobaan sebagai penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan (Kim 2000;menegristek 2008).
Puyuh jepang memiliki kebiasaan hidup berpindah pindah dari satu tempat ketempat yang lain dan habitat alaminya dihutan belantara. Sifat reproduksinya cepat,dalam satu tahun mampu menghasilkan 3-4 generasi,sangat menarik untuk dipelihara dan diternakkan. Karakteristik dari puyuh jepang adalah sebagai berikut :
1.      Bentuk badan lebih besar dari puyuh yang lainnya,panjang badan sekitar 19 cm,badan membulat,ekor pendek,paruh pendek ,jari kaki 4 buah,3 jari kakinya kedepan dan 1 jari kaki ke arah belakang  serta warna kaki kekuning kuningan.
2.      Pertumbuhan bulu menjadi lengkap setelah berumur 2 sampai 3 minggu. Kedua jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu,suara dan bobot badannya.
3.      Ciri puyuh jantan dewasa dapat dilihat dari warna. Pada bagian bulu kepala sampai kebagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung tebal,bulu leher dan dadanya yang berwarna coklat muda tanpa ada bercak kehitaman,panjang sayap kira-kira 89 cm. Puyuh jantan muda mulai bersuara atau berkicau pada umur 5-6 minggu. Selama puncak musim kawin,puyuh jantan akan berkicau setiap malam dengan suara keras.
4.      Puyuh mencapai masak kelamin pada umur 41-42 hari atau 6 minggu. Bobot badan puyuh jantan dewasa kira-kira 117 g/ekor.(Randall dan Bolla 2008;Barnette 2009).
Sudah sejak 20 tahun yang lalu puyuh jepang dijadikan sebagai hewan model alternative pengganti Rodensia dilaboratorium,dengan pertimbangan siklus hidupnya relative singkat. Penelitian yang banyak memanfaatkan puyuh sebagai hewan model adalah penelitian yang berkaitan dengan analisis,endokrin,neurotransmitter,mekanisme saraf yang mengontrol diferensiasi seksual selama ontogeny sampai dewasa dan kontrol tingkah laku reproduksi. Aksi hormon dan neurotransmitter puyuh memiliki kesamaan dengan rodensia,terutama dalam mengontrol tingkah laku seksual hewan jantan. Kesamaan inilah yang memacu banyak peneliti yang memanfaatkan puyuh sebagai hewan model untuk tingkah laku seksual manusia(Balthazartet al1998). Alasan pemakaian puyuh sebagai hewan model adalah kebutuhan luas kandang untuk seekor puyuh hanya sekitar 200 cm² sehingga akan menghemat ruang percobaan. Kebutuhan konsumsi pakan per ekor per harinya juga sangat kecil dibandingkan dengan aves lainnya. Dilihat dari sisi medis,pemakaian puyuh sebagai hewan coba sangat menguntungkan karena luka puyuh akibat pembedahan lebih cepat sembuh (Listiyowati dan Roospitasari 2007).
Puyuh merupakan salah satu spesies unggas yang sangat responsive dalam menerima energi cahaya. Tingkah laku,masak kelamin,dan bioritme burung puyuh dapat dimanipulasi dengan pemberian warna cahaya yang spesifik terutama untuk panjang gelombang cahaya merah,jingga,kuning,hijau dan biru. Pemberian cahaya selama 14-16 jam setiap hari pada burung puyuh sangat dibutuhkan untuk memelihara fertilitas dan produksi telur,sedangkan untuk produksi daging diperlukan pencahayaan selama 8 jam setiap hari ( Randall dan Boll 2008).
2.      Cahaya monokromatik
 Cahaya merupakan suatu bagian dari fenomena alam yang kompleks yang disebut sebagai radiasi elektromagnetik. Kompleksitas fenomena alam tersebut meliputi warna cahaya,persepsi terhadap warna cahaya,adaptasi penglihatan,dan sensasi penglihatan akan diterima sebagai suatu informasi yang datang dari lingkungan serta memiliki peran penting dalam kehidupan semua organisme. Terdapat dua teori yang menjelaskan tentang radiasi elektromagnetik alam,yaitu teori Maxwell (1862,sebelum electron ditemukan) dan Teori Plank (1900). Teori Maxwell menyatakan bahwa gelombang cahaya menyebar sebagai listrik dan megnet yang memiliki kecepatan tertentu serta menghasilkan panjang gelombang berbeda. Dalam teori Plank dipostulasikan bahwa radiasi merupakan sejumlah energi yang tidak dapat dibagi yang disebut sebagai quanta dan memiliki panjang gelombang pendek. Postulasi Plank juga mengungkapkan bahwa panjang gelombang yang dimiliki oleh energi cahaya (foton) pada cahaya tampak berhubungan pada frekuensi radiasi elektromagnetik . Frekuensi radiasi elektromagnetik merupakan siklus setiap detik dari energy electron (Lewis dan Morris 2006).
Cahaya tampak merupakan porsi kecil dari spectrum elektromagnetik,dengan panjang gelombang berbeda akan menghasilkan persepsi warna yang berbeda pula. Cahaya monokromatik yang berasal dari alam sering disebut dengan cahaya natural yang memiliki 3 aspek penting yakni panjang gelombang,intensitas dan durasi pencahayaan.  Perubahan panjang gelombang dari radiasi elektromagnetik akan menghasilkan persepsi dan warna cahaya yang berbeda. Cahaya monokromatik yang dikatagorikan kedalam cahaya tampak (visible) mempunyai frekuensi tunggal dengan kisaran panjang gelombang antara 400-780 nm. Masing-masing cahaya mampu menghasilkan efek tingkah laku,pertumbuhan dan reproduksi yang berbeda dalam kehidupan hewan. Perlakuan pemberian cahaya monokromatik artifisial pada kelompok unggas mampu memberikan respon yang berbeda , misalnya pemberian cahaya biru menyebabkan unggas menjadi lebih tenang. Pemberian cahaya merah dapat mengurangi kanibalisme antar individu, memacu pertumbuhan bulu sayap dan memacu masak kelamin,serta pemberian cahaya hijau akan menstimulasi pertumbuhan pada periode anak (Gewehr et al.2005).
Intensitas cahaya (iluminasi) merupakan fotometrik kuanitas cahaya yang jatuh pada permukaan suatu area. Pengukuran intensitas cahaya dalam kehidupan hewan merupakan hasil konversi dari pengukuran fotometrik intensitas cahaya yang diterima oleh manusia.Standar unit pengukurannya adalah lux yang diperolaeh dari kalibrasi cahaya tampak yang ekivalen dengan 1 1m/m² (lumen permeter persegi )atau 0.08 cd/m² (candela permeter persegi) . Durasi pencahayaan untuk cahaya natural menunjukkan periode (jangka waktu) pencahayaan yang berkaitan dengan panjang hari (daylength/photoperiod). Panjang hari dideskripsikan sebagai periode rotasi bumi selama 24 jam,yang terdiri atas fotoperiode tunggal sebagai siang dan periode tunggal dalam gelap sebagai malam (scotoperiod). Efek utama yang muncul dari durasi pencahayaan adalah secara langsung terlibat dalam masak kelamin. Masak kelamin pada unggas jantan maturasi seksual merupakan tahap dimana testis telah tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan spermatozoa yang matang (Rodenboorget al.2001).

1 komentar: